Selamat
pagi, Fajar. Akhirnya, setelah semalaman aku menunggumu, tanpa terlelap sedetik
pun, aku dapat bertemu dengan mu. Hampir saja aku menyerah dan memutuskan untuk
pergi, karena lelah menunggumu. Aku butuh istirahat. Tapi, aku sudah tidak kuat
menahan ini. Aku ingin menceritakan kepadamu sesuatu.
Kenapa
kamu, Fajar? Karena hanya kamu yang bisa mendengarkan aku. Hanya kamu yang
membawa aku ketenangan dan kedamaian ketika aku bercerita hingga selesai
bercerita. Bahkan hanya dengan melihatmu, hatiku lebih tenang. Emosi yang
membara segera menyejuk. Jadi, begini, Fajar, ceritaku.
Satu tahun aku menantinya. Satu tahun aku tak melihatnya. Satu tahun
itu aku berdiam, tanpa gerak. Pernah waktu memberiku peluang. Dan,
bodohnya aku, menyia-nyiakan waktu emas tersebut. Jika ditanya penyesalan, ya,
sesal. Bahkan saat itu tak terpikirkan oleh ku betapa tak mudahnya untuk
mengembalikan waktu, betapa tak mudahnya untuk mendapatkan waktu.
Jujur, aku ingin bertemu, sungguh. Walau
hanya sekedar lirik mata. Walau hanya sekedar melihat dari jauh. Walau hanya
diam yang akan kulakukan. Walau hanya aku yang menyadarinya, tanpa ia menyadari diriku. Aku tidak
pernah takut kehilangan dia. Yang aku takuti adalah begitu aku merindukannya.
Mentari hadir dan Fajar menghilang. Kemana kamu, Fajar? Ceritaku hampir selesai,
namun kamu menghilang. Ah, aku sudah hafal betul adegan ini. Kamu menghilang,
dan hariku menjadi seperti hari-hari sebelumnya. Di kota yang sama, kebisingan
yang sama, kesesakan yang sama. Melelahkan, mencekam, tragis, kejam. Dan sepi yang mencekik.
Comments